• Posted by : Fanila Salsabila Sunday 21 June 2015

    WANITA DALAM BUDAYA JAWA

    Disusun Guna Memenuhi Tugas
    Mata Kuliah :  Islam dan Budaya Jawa
     Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si



    Disusun Oleh :

    Dodit Adi Cahyono                (123411036)
    Farda Naila Salsabila              (123411039)
    Ferdin Tri Yuniar                    (123411041)
    Hanik Nurul Faizah                 (123411045)
    Ida Nurhidayah                       (123411049)


    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
    SEMARANG
    2015

    I.            PENDAHULUAN
    Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan posisi yang sama, namun pemahaman tentang kewanitaan selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, karena perlakuan terhadap dirinya yang tidak ditempatkan dalam posisi yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan bangsa apapun, pada kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai insan kelas ke dua. Begitu pula dalam budaya Jawa, wanita dipandang sebagai kanca Wingking yang harus menuruti atau meladeni sang suami.
    Wanita sebagai hamba Allah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.  Tanpanya,  kehidupan  tidak  akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah terhenti beribu – ribu  abad  yang  lalu.  Oleh  sebab  itu,  wanita  tidak  bisa  diremehkan  dan  di abaikan,  karena  dibalik  semua  keberhasilan  dan  kontinuitas  kehidupan,  di situlah ada peran wanita. Oleh karena itu ia pantas mendapatkan perlakuan yang baik dalam segala aspek.

    II.            RUMUSAN MASALAH
    1.      Apa Istilah, Makna Serta Beban Ideologis pada Wanita Jawa?
    2.      Bagaimana Karakteristik Wanita Jawa?
    3.      Bagaimana Kedudukan Wanita Jawa?
    4.      Bagaimana Kekuasaan Wanita Jawa?
    5.      Bagaimana Peranan Wanita Jawa?

    III.            PEMBAHASAN
    1.      Istilah, Makna, dan Beban Ideologis pada Wanita Jawa
    Dalam lingkungan masyarakat Jawa, ada beberapa istilah yang diberikan kepada wanita berdasarkan peran dan kedudukan mereka. Istilah-istilah itu bukanlah sekedar istilah, melainkan membawa beban ideologis tertentu bagi wanita sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini[1]:
    a.       Sebutan Wadon
    Kata Wadon berasal dari bahasa Kawi wadu, yang secara harfiah berarti kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan, bahwa di dunia ini perempuan “dititahkan” atau “ditakdirkan” sebagai abdi (pelayan) Sang Guru Laki (suami). Bahkan dalam konteks kebudayaan Hindu lama, eksistensi kaum hawa sebagai abdi harus dijalani tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Artinya, kewajiban perempuan mengabdi kepada suami tidaklah terbatas di dunia nyata ini, melainkan harus sampai di akhirat. Pengabdian seorang wanita harus mengikuti sang guru laki dalam setiap tataran “kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi logis, bahwa jika sang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan pengabdiannya di alam kubur, dan begitu pula seterusnya.
    b.      Sebutan Wanita
    Kata wanita berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa wani (berani) dan tata (teratur). Secara “gathukologis”, kata bentukan ini mengandung dua konotasi, yakni wani ditata (berani [mau] diatur) dan wani nata (berani [mau] mengatur). Dalam konotasi wani ditata mengandung makna, bahwa perempuan harus tetap tunduk pada sang suami. Sedangkan wani nata mempunyai maksud, bahwa perempuan (sebagai ibu rumah tangga) harus bertanggung jawab atas pendidikan anak dan seluruh pengaturan (kesejahteraan, kesehatan, kerapian, dll) keluarga.
    c.       Sebutan Estri
    Kata estri berasal dari bahasa Kawi estren yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata estren terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dengan demikian sebutan estri mengandung konsekuensi logis (tanggungjawab yang melekat), bahwa seorang estri harus mampu mendorong suami, membantu pertimbangan-pertimbangan, terutama saat jiwa dan semangatnya sedang melemah.
    d.      Sebutan Putri
    Secara leksikal kata putri berarti anak perempuan. Dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering digunakan sebagai akronim kata-kata putus tri perkawis. Itu berarti, dalam kedudukannya sebagai seorang putri, perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban wanita (tri perkawis), baik dalam kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri.
    Kalau istilah-istilah diatas kita simak secara teliti, tidak ada satupun yang mendudukkan kaum wanita secara sejajar dengan kaum pria. Semua istilah tersebut memberikan beban tertentu bagi perempuan.

    2.      Karakteristik Wanita Jawa
    Seperti juga karakter laki-laki, karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi.
    Terutama di dusun ini, banyak ditemukan wanita Jawa yang selain mempunyai ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik yang kuat. Mereka terbiasa bekerja keras secara fisik, misalnya mencari rumput untuk pakan ternak (ngarit), memanggul padi hasil panen, atau menggendong dodolan (barang-barang dagangan) dan masih harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya wanita Jawa mempunyai kebiasaan untuk bangun paling pagi dan tidur paling akhir, sementara sepanjang hari megurus rumah. Meski tetap harus berjualan di pasar, ia masih juga menyiapkan makan untuk suami dan anak-anaknya. Jarang ditemukan wanita Jawa yang manja dan tidak mau bekerja.
    Suami yang mempunyai kedudukan baik di pemerintahan mengerjakan pekerjaan kantoran (administratif), sementara sawah dab ladang sebagai kelungguhan (bayaran atas kedudukannya) diolah oleh istri. Wanita sangat menghargai dan menjunjung tinggi suami sehingga secara publik tetap suami yang dihargai dan dihormati. Dalam hal ini, sejak masa anak-anak wanita dididik untuk berbakti kepada suami, sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya.
    Seorang wanita Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita. Bagaimana sikap batin seorang wanita Jawa ini digambarkan dengan cantik oleh Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem.[2]
    Dalam novel Sri Sumarah, Umar Kayam juga menggambarkan bagaimana seorang istri Jawa seharusnya. Ini tampak dari nasihat Embah kepada Sri Sumarah untuk memasuki bahtera rumah tangga:
    Embahnya dalam bulan-bulan berikut memeprsiapkan cucunya dengan sebaik-baiknya. Persiapan bagi seorang gadis untuk menjadi seorang istri yang sempurna. Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati, patuh, sabar, mengerti akan kelemahan suami, mengagumi akan kekuatannya.”
    “Bukannya kebetulan nDuk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak berarti lantas kau diam saja, nDuk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti, nDuk?”
    Sifat pasrah, sumarah, di sini bukan sebuah ekspresi kepasifan karena pasrah berarti mengerti dan terbuka, namun tidak menolak. Jadi, di balik penampilan wanita Jawa yang kalem, patuh, dan sabar, tidak berarti ia bisa diperlakukan sekehendak hati suami. Istri mengerti kelemahan dan mengagumi kekuatan suami.[3]
    Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunannya.
    a.       Masak
    Wanita atau perempuan Jawa  tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan memberi ‘nutrisi’ dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang ’sehat’. Dalam aktivitas memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi sebuah ‘makanan’. Ini adalah  wujud kasih sayang istri terhadap seluruh anggota keluarga.
    b.      Macak
    Macakadalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah ‘bangunan’ rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang,  sabar dan mau bekerja keras.
    c.       Manak
    Manakartinya melahirkan anak.  Tidak semata proses bekerja sama dengan suami dalam ‘membuat anak’, mengandung dan melahirkan seorang buah hati. Akan tetapi mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
    Menurut  Ronggowarsito sedikitnya ada 3 watak perempuan yang jadi pertimbangan laki – laki ketika akan memilih, yaitu :
    a.       Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati
    b.      Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
    c.       Watak Gemati, penuh kasih, Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli,tetapi hasil masakan sendiri  adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).[4]

    3.      Kedudukan Wanita Jawa
    Dari gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam sastra jawa yang dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan XIX diketahui bahwa peran dan kedudukan perempuan terbatas disektor domestik. Adapun kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai berikut : [5]
    a.       Sebagai hamba Tuhan
    Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan, hindu dan budha. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat termasuk  perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama  islam dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
    b.      Sebagai anak atau menantu
    Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti(mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya dijelaskan  pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan penghormatan dari anak. Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
    c.       Sebagai istri
    Dalam sastra jawa banyak ditemukanajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus memperlakukan suami  seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan dihormati.
    d.      Sebagai ibu
    Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu, termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.
    4.      Kekuasaan Wanita Jawa
    Menurut konsep Jawa, kekuasaan pada hakikatnya bersifat homogen, bersifat satu dan sama saja dimanapun ia menampakkan diri, serta dalam jumlah yang tetap sepanjang waktu. Sementara Kekuasaan wanita Jawa adalah kekuatan yang menyelinap serta strategi yang dilakukan wanita jawa untuk mendapatkan pengaruh merupakan upaya penaklukan diri ke dalam dengan mengabdi kepada keluarga.
    Oleh karena itu, seorang Ibu mempunyai kedudukan yang penting yakni sebagai simbol moralitas dalam keluarga. Dengan simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri suami dan anak-anaknya serta kekuatan feminisnya yang luar biasa mampu menopang, melindungi dan menjadi sumber inspirasi bagi suami dan anak-anaknya. Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, diantaranya :[6]
    a.       Bermain di dalam Ruang Kekuasaan
    Salah satu ciri kekuasaan wanita Jawa adalah kepasifan dan ketenangan, tidak menunjukkan gejolak pemberontakan. Kekuatan nilai budaya Jawa seakan menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan menghargai laki-laki atau suami. Wanita selalu menjaga tata krama sopan santun yang terkadang menjadi jerat budaya bagi kehidupan sosial masyarakatnya dimana wanita itu sendiri bagian dari warganya.
    Kekuatan yang menyelinap ini tumbuh subur dalam kultur jawa yang memiliki konsep bahwa semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus, konsep halus dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur kata lembut, hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain, kalem dan tenang.
    b.      Penakhlukan Diri ke Dalam
    Selama ini secara formal wanita Jawa tidak mempunyai status yang sah untuk ikut berbicara dalam bidang politik dan pengaturan kebijakan umum. Ini diakibatkan oleh sikap dan praktik formal yang mendeskriminasi wanita.
    Wanita Jawa mengembangkan sebuah cara khas untuk mendapatkan kekuasaan dan tetap mempengaruhi sektor publik tanpa meninggalkan atau melanggar nilai-nilai keutamaan kultur Jawa (prinsip keselarasan, hormat dan terkendali. Dalam cara perolehan kekuasaan menggambarkan bagaimana kekuasaan diperoleh dengan melakukan pendalaman dan penghalusan rasa terus-menerus.
    Dengan strategi pengabdian seorang wanita Jawa cenderung memangku dan melakukan pengabdian total kepada keluarga atau suami. Istri tidak hadir sebagai pihak yang ingin sebagai pihak yang ingin dimengerti dan dipahami, tetapi ia justru hadir sebagai pihak yang lebih ingin dimengerti dan memahami suami. Oleh karena itu, istri akan cenderung untuk lebih memangku, yang artinya lebih mengerti dan memahami suami. Suami yang sangat dimengerti dan dipahami oleh istri akan merasa nyaman, aman, dan damai dirumah.

    5.      Peranan Wanita Jawa
    Menurut KBBI, peran adalah ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan, keikutsertaan secara aktif atau partisipasi.[7] Pengertian peran dalam wanita jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif sesuai adat istiadat jawa. Wanita berperan penting dalam budaya jawa khususnya pada adat istiadat yang dipergunakan oleh orang jawa.
    a.       Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
    Dalam budaya jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis dari masyarakat jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa ngrumati (merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.[8]
    Walaupun aturan  normatif  jawa menunjukkan bahwa posisi wanita di bawah laki-laki (cenderung paternalistik). Misalnya dalam pengambilan keputusan keluarga anak laki-laki di beri kesempatan lebih besar untuk terlibat daripada anak perempuan (wanita), atau dalam pembagian warisan berlaku sistem sepikul segendongan (anak laki-laki mendapat sepertiga, anak wanita mendapat sepertiga yang diadopsi hukum islam). Namun dalam pertalian kekerabatan yang menggunakan hitungan baik yaitu dari garis keturunan bapak maupun ibu (bilateral) sehingga anak laki-laki dan wanita mendapat warisan yang sama.
    b.      Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
    Peran wanita jawa terutama ibu mendapatkan pemujaaan penuh dari orang-orang jawa. Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di jawa mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan, hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[9]
    Sebagai simbol moralitas, kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung jawab, wanita yang posisinya sebagi ibu memikul beban idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan dirinya menjadi figur dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
    Hal tersebut terjadi karena wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam Rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut merasa senang. Hingga anak itu lahir dan hingga anak itu tumbuh dewasa.[10]
    Oleh sebab itu mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat dengan ibu, setia padnya, menjadi sesutau ynag amat penting untuk menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya (kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
    c.       Wanita berperan dalam ketergantungan anak laki-laki
    Dalam hal ketergantungan, biasanya anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita daripada wanita bergantung pada laki – laki. Hal tersebut menunjukan bahwa pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
    Kualitas hubungan anak kepada ibu menjadi penanda utama identitas, harga diri, dan sikap moral. Jika nantinya menikah sang ibu tampaknya masih akan dominan dalam kesadaran anak laki-laki, boleh jadi pengaruh ibu mengalahkan kehendak istrinya. Atau malah suami yang bersikap seperti anak sulung kepada istrinya yaitu menjadi semacam bayi tua. Dalam hati nurani individu  yang bergantung pada orang lain, kesadaran pada ibu akan menjadi sangat penting. Bahkan sering seorang istri mengambil alih sosok ibu suaminya sebagai representasi suara hati atau menjadi sosok yang menempatkan diri sejajar dengan ibu.
    d.      Wanita jawa sebagai konco wingking dan garwa
    Di kalangan masyarakat Jawa, perempuan dikenal dengan istilah konco wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukkan perempuan tempatnya bukan di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur karena dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur, dan kasur. Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.[11]
    Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita sebagai konco wingking berlaku sebagai kondisi sak prayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya jawa. Tampaknya, ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya berkembang dalam arena publik orang jawa. Jadi secara publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki ataupun wanita jawa sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
    Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan melihat situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka lebar kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai konsep-konsep tersebut. Konco wingking misalnya menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan. Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film itu nanti.
    Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal. Contohnya, aturan tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian gono-gini tersebut diatur bahwa suami mendapat dua bagian sedangkan istri mendapat satu bagian. Contoh lainnya aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing akan memperoleh dua bagian. Sedangkan anak wanita mendapat satu bagian. Contoh lainnya lagi adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak.

     IV.            KESIMPULAN
    1.      Perempuan dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung konsekuensi idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri  (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak.
    2.      Karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi. Dalam kehidupan wanita Jawa ada istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek.
    3.      Kedudukan wanita jawa adalah sebagai hamba Tuhan, sebagai anak atau menantu, sebagai istri, sebagai ibu.
    4.      Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.
    5.      Peranan wanita jawa yaitu sebagai posisi sentral, wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan, wanita berperan dalam ketergantunagan anak laki-laki, wanita berperan sebagai konco wingking dan garwa.

        V.            PENUTUP
    Demikian penjelasan dalam makalah ini, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya akan menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.


    DAFTAR PUSTAKA

    Amin,  Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media. 2000.
    Dian, Seri, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
    Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta,   cet. I, 2004.
    KBBI Offline Versi 3
    Sukri, Sri Suhandjati dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001.



    [1]. Seri Dian, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 275-276.
    [2]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 130-131.
    [3].  Christina S. Handayani dan Ardhian  Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 137.
    [5]. Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,  Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2001, hlm. 63.

    [6]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 200-209.
    [7]. KBBI offline Versi 3
    [8]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2004, hlm. 42
    [9]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LKIS, 2004, hlm. 42.
    [10]. M.Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2000, hlm. 45.
    [11]. Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,  Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2001, hlm. 6.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Farda Naila Salsabila

    Farda Naila Salsabila - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan